DISINI BUKAN HANYA TENTANG TEKHNIK INFORMATIKA TAPI BERBAGAI MACAM SEKMEN ContactPerson : 085759898986

Selasa, 06 Januari 2009

Individu Calon Kepala Daerah

Selama ini mekanisme pemilihan kepala daerah baik bupati, walikota, maupun gubernur dilakukan melalui pemilihan yang dilakukan oleh wakil-wakil rakyat yang duduk di DPRD. Dengan hadirnya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah maka mekanisme pemilihan kepala daerah sekarang ini menjadi berbeda. Yang memilih bukan lagi wakil rakyat yang duduk di DPRD, melainkan rakyat yang akan secara langsung memilih siapa yang menjadi kepala daerah. Namun demikian, apakah hasilnya nanti juga akan berbeda? Mungkin sekali tidak jika masyarakat tidak cerdas dalam menjatuhkan pilihannya kepada figur yang tepat. Lagi pula perilaku partai politik yang memiliki privelese untuk mengusulkan calon pasangan kepala daerah tampaknya belum beranjak jauh dari paradigma lama.

Kecenderungan para elite partai politik memanfaatkan privelese politik yang dimilikinya untuk kepentingan pribadi atau golongannya sering kali memicu terjadinya money politic berupa beli kandidat (vote candidacy) baik antar partai politik maupun antara parpol dengan tokoh yang ingin maju dalam bursa Pilkada. Akhirnya integritas, kredibilitas dan kapabilitas calon terkadang menjadi dikesampingkan, yang terpenting adalah tercapainya kesepakatan “harga”. Akibatnya seringkali masyarakat kemudian dihadapkan pada kenyataan bahwa figur-figur yang muncul tidak memiliki integritas dan akseptabilitas publik meski sekarang ada angin segar untuk mendapatkan pemimpin yang memiliki integritas, kredibilitas, kapabilitas dan akseptabilitas dari luar partai politik dengan telah ditetapkannya Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 sebagai revisi atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang memberi peluang bagi berkiprahnya calon independen dalam Pilkada.

Meskipun peran partai politik masih sangat besar dalam menentukan figur calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, namun pada Pilkada Kota Palangka Raya Tahun 2008 ini masyarakat masih mempunyai kesempatan untuk menentukan sosok terbaik yang layak memimpin Palangka Raya lima tahun ke depan, meski mungkin harus minus malum. Pada saat pemungutan suara tanggal 10 Juli 2008 mendatang loyalitas pemilih tradisional parpol pada Pemilu legislatif bias jadi menurun. Hal ini becermin dari pengalaman Pilpres 2004 dan Pilkada pada beberapa daerah di Indonesia seperti pemilihan Gubernur Jawa Barat, Gubernur Sumatera Utara, Bupati Hulu Sungai Selatan dan banyak lagi dimana para pemilih tradisional ternyata tidak memilih calon yang diusung oleh partai politik yang mereka pilih pada saat Pemilu legislatif. Mengapa demikian? Hal ini tidak lain karena pemilihan pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah nanti lebih kental dengan nuansa personalisasi politik.

Personalisasi politik ini berkaitan dengan popularitas dan atraktivitas serta akseptabilitas pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Artinya Pilkada akan sangat dipengaruhi oleh citra calon dimata masyarakat daripada oleh kampanye visi, misi, dan program yang ditawarkan oleh tim kampanye (jurkam). Dengan demikian, partai politik mana yang mengusung calon menjadi tidak terlalu memiliki signifikansi dalam menentukan pasangan mana yang bakal menang. Oleh karena itu mungkin saja calon yang diusung oleh partai politik yang perolehan suaranya pada Pemilu legislatif relatif kecil yang menjadi pemenang dan sebaliknya, calon dari partai yang perolehan suaranya relatif lebih besar atau pemenang Pemilu legislatif justru mengalami kekalahan.

Personalisasi politik pada dasarnya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi selama pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam usahanya membangun opini dan simpati publik tidak dilakukan melalui cara-cara yang kotor seperti kampanye negatif (black campaign) maupun pembunuhan karakter pasangan lain (caracter assasination). Personalisasi politik itu sendiri sebenarnya tidak lepas dari peran strategis media dalam membentuk opini publik atau pilihan rakyat. Pengungkapan skandal politik oleh media massa, pemberitaan tentang konflik elite politik suatu partai dan lain sebagainya akan berpengaruh terhadap citra diri partai dan pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang mereka usung.

Peran strategis media ini disadari betul oleh tokoh-tokoh politik ataupun pasangan-pasangan kepala daerah sehingga mereka menggunakannya sebagai sarana untuk berlomba-lomba membuat posisi dirinya semakin signifikan dimata publik, Ada banyak hal yang bias mereka lakukan untuk membangun citra diri mereka positif dimata publik seperti dengan ikut-ikutan polling bahkan tidak sedikit yang menyewa pollster. Asumsi yang dipakai untuk ikut atau bahkan menyewa pollster adalah orang akan berpikiran bahwa jika menurut poling banyak orang memilih si X, maka suara yang saya berikan untuk si Y nanti akan sia-sia. Jadi lebih baik ikut-ikutan memilih si X saja. Inilah yang disebut sebagai mobilisasi opini publik. Personalisasi politik ini terbukti efektif dalam Pilpres tahun 2004 dimana SBY terpilih sebagai presiden pilihan rakyat setelah sebelumnya dianggap berakting layaknya opera sabun.

Upaya lain yang juga sering dilakukan oleh tokoh politik yang akan maju dalam Pilkada atau para calon kepala daerah yaitu dengan mempublikasikan berbagai kegiatan sosial maupun kemanusian yang mereka lakukan melalui berbagai media massa baik cetak maupun elektronik sebagai simbol simpati dan kepedulian mereka terhadap masyarakat khususnya yang ada di pedesaan atau masyarakat pinggiran yang sebelum memasuki atmosfer Pilkada seringkali dimarginalkan. Kegiatan yang mereka katakana sebagai bagian dari sosialisasi tersebut dilakukan dengan harapan mereka akan semakin dikenal dan memiliki citra positif dimata publik. Lebih jauh lagi, tentunya diharapkan akan membuat masyarakat memilih mereka pada saat pemungutan suara digelar. Bahkan upaya-upaya dan membangun simpati publik dan juga afinitas primordial tersebut tidak jarang dilakukan jauh-jauh hari sebelum memasuki tahapan Pilkada.

Personalisasi politik melalui pembangunan citra diri yang positif maupun, mobilisasi opini publik dalam Pilkada boleh-boleh saja terlebih ketika masyarakat semakin dewasa dalam berpolitik. Yang perlu diperhatikan oleh masyarakat pemilih yaitu bahwa dalam memilih figur kepala daerah jangan hanya berdasar pada ketenaran atau popularitas semata, tetapi juga harus diperhatikan track record dan program-program yang ditawarkan para pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Selain itu, masyarakat juga jangan taklid buta terhadap pilihan politik tokoh komunal yang menjadi anutannya. Masyarakat harus mewaspadai adanya manuver atau trik-trik politik berupa pembelian tokoh masyarakat (influential figure buying). Hal ini kerap dilakukan oleh partai politik dan pasangan calon kepala daerahnya karena pemilih tradisional biasanya juga cenderung menentukan pilihan politiknya berdasar apa yang dipilih oleh tokoh komunalnya. Dalam pemilihan walikota dan wakil walikota Palangka Raya periode 2008-2013 yang akan berlangsung tanggal 10 juli 2008, masyarakat harus semakin dewasa dalm berpolitik dan cerdas dalam memilih karena masa depan Kota Palangka Raya lima tahun ke depan masyarakatlah yang menentukan.

Tidak ada komentar:

My Ladies Yeuh ...........